Sabtu, 14 November 2015

Perlawanan Pangean Mangkubumi dan Mas Said

Perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said Perlawanan terhadap VOC kembali terjadi di Jawa, kali ini dipimpin oleh bangsawan kerajaan yakni pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Perlawanan berlangsung sekitar 20 tahun.
Raden Mas Said adalah putera dari Raden Mas Riya yang bergelar Adipati Arya Mangkunegara dengan Raden Ayu Wulan putri dari Adipati Blitar. Pada usia 14 tahun Raden Mas said sudah diangkat sebagai gandek kraton (pegawai rendahan di Istana) dan diberi gelar R.M.Ng. Suryokusumo. Karena merasa sudah berpengalaman, Raden Mas said kemudian mengajukan permohonan untuk mendapatkan kenaikan pangkat. Akibat permohonan ini Mas Said justru mendapat cercaan dan hinaan dari keluarga kepatihan, bahkan dikait-kaitkan dengan tuduhan ikut membantu pemberontakan orang-orang Cina yang sedang berlangsung. Mas said pergi menuju Nglaroh untuk memulai perlawanan. Oleh karena pengikutnya mas said diangkat sebagai raja baru dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Senopati Sudibyaning Prang. Hingga kini sebutan Mas Said yang dikenal masyarakat yakni Pangeran Sambernyawa. Pada tahun 1745 Pakubuwana II mengumumkan barang siapa yang dapat memadamkan perlawanan Mas Said akan diberi hadiah sebidang tanah di Sukowati (di wilayah sragen sekarang). Mas Said tidak menghiraukan apa yang dilakukan Pakubuwana II di istana, ia terus melancarkan perlawanan kepada kerajaan maupun VOC.
Mendengar adanya sayembara berhadiah itu, Pangeran Mangkubumi ingin mencoba sekaligus menkar seberapa jauh komitmen dan kejujuran Pakubuwana II. Pangeran Mangkubumi adalah adik dari Pakubuwana II. Pangeran Mangkubumi dan para pengikutnya berhasil memadamkan perlawanan Mas Said. Ternyata Pakubuwana II ingkar janji. Pakubuwana II kehilangan nilai dan komitmennya sebagai raja yang berpegang pada tradisi, sabda pandhita ratu datan kena wola-wali(perkataan raja tidak boleh ingkar). Karena bujukan Patih Pringgalaya, Pakubuwana II tidak meberikan tanah Sukowati kepada Pangeran Mangkubumi. Terjadilah pertentangan antara Raja Pakubuwana II yang didukung Patih Pringgalaya di satu pihak dengan Pangeran Mangkubumi di pihak lain. Dalam suasana konflik ini tiba-tiba dalam pertemuan terbuka di istana itu Gubernur Jenderal Van Imhoff mengeluarkan kata-kata yang menghina dan menuduh Pangeran Mangkubumi terlalu ambisi mencari kekuasaan. Hal inilah yang sangat mengecewakan Pangeran Mangkubumi, pejabat VOC secara lansung telah mencampuri urusan pemerintahan kerajaan. Pangeran Mangkubumi segera meninggalkan istana. Tidak ada pilihan lain kecuali angkat senjata untuk melawan VOC yang telah semena-mena ikut campur tangan pemerintahan kerajaan. Hal ini sekaligus untuk memperingatkan saudara tuanya Pakubuwana II agar tidak mau didikte oleh VOC.
Perjanjian itu berisi pasal-pasal antara lain :
(1). Susuhunan Pakubuwana II menyerahkan Kerajaan Mataram baik secara de facto maupun de jure kepada VOC.
(2). Hanya keturunan Pakubuwana II yang berhak naik tahta, dan akan dinobatkan oleh VOC menjadi raja Mataram dengan tanah Mataram sebagai pinjaman dari VOC.
(3). Putera mahkota akan segera dinobatkan. Sembilan hari setelah penandatanganan perjanjian itu Pakubuwana II wafat. Tanggal 15 Desember 1749 Baron van Hohendorff mengumumkan pengangkatan putera mahkota sebagai Susuhunan Pakubuwana III.
Perjanjian tersebut merupakan sebuah trgaedi karena Kerajaan Mataram yang pernah Berjaya di masa Sultan Agung harus menyerahkan kedaulatan atas seluruh wilayah kerajaan kepada pihak asing. Hal ini semakin membuat kekecewaan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said, sehingga keduanya harus meningkatkan perlawanannya terhadap kezaliman VOC.
Perlawanan Pangeran Mangkubumi berakhir setelah tercapai Perjanjian Giyanti pada tanggal 15 Februari 1755. Isi pokok perjanjian Giyanti : bahwa Mataram dibagi dua. Wilayah bagian barat (daerah Istimewa Yogyakarta) diberikan kepada Pangeran Mnagkubumi dna berkuasa sebagai sultan dengan sebutan Sri Sultan Hamengkubuwana I, sedang bagian timur (daerah Surakarta) tetap diperintah oleh Pakubuwana III. Sementara perlawanan Mas Said berakhir setelah tercapai Perjanjian salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 yang isinya Mas said diangkat sebagai penguasa di sebagian wilayah Surakarta dengan gelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar