Sabtu, 14 November 2015

Perang Tapanuli

Tapanuli merupakan sebuah wilayah yang berada di Provinsi Sumatera Utara. dan belakang ini nyaring disuarakan pembentukan provinsi tersendiri untuk wilayah Tapanuli, tapi pada kesempatan kali ini, Pustaka Sekolah tidak akan membahas mengenai pembentukan Provinsi Tapanuli, melainkan akan membahas Tapanuli pada masa kolomial Bemanda.Di wilayah Tapanuli terdapat beberapa kerajaan suku Batak salah satunya berpusat di Bakkara. Raja terakhir di Bakkara ialah Sisingamangaraja XII.
Sejarah Perang Tapanuli 1878-1907
Sebab Terjadinya Perang
  • Raja Sisingamangaraja tidak senang daerah kekuasaannya dikuasai Belanda yaitu Tapanuli Selatan.
  • Untuk mewujudkan Pax Netherlandica, Belanda berniat menguasai Tapanuli Utara pada saat yang sama Belanda juga melancarkan peperangan di Aceh.
Perang dimulai ketika Belanda menempatkan pasukannya di Tarutung, untuk melindungi penyebaran agama kristen yang dilakukan oleh Nommensen yang berkebangsaan Jerman. Sisingamangaraja XII menyerang kedudukan Belanda di Tarutung. Selama 7 tahun terjadi peperangan di Tapanuli Utara yaitu di daerah Bahal Batu, Soborong-borong, Balige Laguboti dan Lumban Julu.Pada tahun 1904 pasukan Belanda pimpinan Van Daalen dari Aceh Tengah melanjutkan gerakannya ke Tapanuli Utara dan berhasil mendesak pertahanan Sisingamangaraja XII.
Pada tahun1907 pasukan marsose dipimpin oleh Kapten Hans Christoffel berhasil menangkap Boru Sagala, isteri Sisingamangaraja XII serta dua orang anaknya, sementara itu ia dan para pengikutnya menyelamatkan diri ke hutan Simsim. Bujukan agar raja mau menyerah ditolaknya.
Akhirnya dalam pertempuran tanggal 17 Juni 1907 Sisingamangaraja XII gugur juga Lopian puterinya dan dua orang puteranya yaitu Sutan nagari dan Patuan Anggi. Jenasahnya dimakamkan di depan markas militer Belanda di Tarutung lalu dipindahkan ke Balige. Gugurnya Sisingamangaraja XII telah menambah deretan pahlawan perjuangan kemerdekaan. Perang Tapanuli adalah perang terakhir menghadapi Belanda dengan senjata.
Peninggalan-peninggalan yang ada membuktikan keberanian rakyat Indonesia. Apakah kalian pernah pergi mengunjungi berbagai peninggalan pada masa perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda di atas? Bagaimana sikap kalian terhadap peninggalan tersebut? Generasi sekarang harus merawat peninggalan tersebut agar dapat belajar bagaimana perjuangan para pahlawan pada masa lalu. Dengan demikian kalian akan semakin giat belajar dan membangun bangsa Indonesia agar terus berjaya. Saat masa penjajahan Hindia Belanda, perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Lokasi Indonesia pada masa lalu sulit dijangkau, sehingga menyebabkan perlawanan rakyat tidak dapat dilakukan secara serentak. Inilah salah satu faktor penyebab Hindia Belanda dapat melumpuhkan perlawanan Bangsa Indonesia. Beberapa contoh perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda yang dilakukan oleh rakyat Indonesia adalah sebagai berikut. 1) Perang Saparua di Ambon Perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda Pattimura Merupakan perlawanan rakyat Ambon yang dipimpin Thomas Matulesi (Pattimura). Dalam perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda tersebut, seorang pahlawan wanita bernama Christina Martha Tiahahu melakukan perlawanan dengan gagah berani. Perlawanan Pattimura dapat dikalahkan setelah bantuan pasukan Hindia Belanda dari Jakarta datang. Pattimura bersama tiga pengikutnya ditangkap dan akhirnya dihukum gantung. 2) Perang Paderi di Sumatra Barat Merupakan perlawanan yang sangat menyita tenaga dan biaya sangat besar bagi rakyat Minang dan Pemerintah Hindia Belanda. Bersatunya Kaum Paderi (ulama) dan kaum adat melawan Pemerintah Hindia Belanda menyebabkan Belanda kewalahan memadamkannya. Bantuan dari Aceh juga datang untuk mendukung pejuang Paderi. Pemerintah Hindia Belanda benar-benar menghadapi musuh yang tangguh. Belanda menerapkan sistem pertahanan Benteng Stelsel. Benteng Fort de Kock di Bukit tinggi dan Benteng Fort van der Cappelen merupakan dua benteng pertahanannya. Dengan siasat tersebut akhirnya Belanda menang ditandai dengan jatuhnya benteng pertahanan terakhir Paderi di Bonjol tahun 1837. Tuanku Imam Bonjol kemudian ditangkap, dan diasingkan ke Priangan, kemudian ke Ambon, dan terakhir di Menado hingga wafat tahun 1864. 3) Perang Diponegoro 1825-1830 Perang Diponegoro merupakan salah satu perang besar perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Latar belakang perlawanan Pangeran Diponegoro diawali dari campur tangan Belanda dalam urusan politik Kerajaan Yogyakarta. Beberapa tindakan Belanda yang dianggap melecehkan harga diri dan nilai-nilai budaya masyarakat Yogyakarta menjadi penyebab lain kebencian rakyat kepada Belanda. Perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda Pemerintah Hindia Belanda membangun jalan baru pada bulan Mei 1825. Mereka memasang patok-patok pada tanah leluhur Pangeran Diponegoro. Terjadi perselisihan saat pengikut Diponegoro Patih Danureja IV mencabuti patok- patok tersebut. Belanda segera mengutus serdadu untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Perang tidak dapat dihindarkan lagi, pada tanggal 20 Juli Tegalrejo sebagai basis pengikut Diponegoro direbut dan dibakar oleh Belanda. Pada bulan Maret 1830 Diponegoro bersedia mengadakan perundingan dengan Belanda di Magelang, Jawa Tengah. Perundingan tersebut hanyalah tipu muslihat Belanda karena ternyata Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian ke Makasar hingga wafat tahun 1855. Setelah berakhirnya Perang Jawa (Diponegoro), tidak lagi muncul perlawanan yang lebih berat di Jawa. 4) Perang Aceh Semangat jihad (perang membela agama Islam) merupakan spirit perlawanan rakyat Aceh terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Jendral Kohler terbunuh saat pertempuran di depan masjid Baiturrahman Banda Aceh. Kohler meninggal dekat sebuah pohon yang sekarang diberi nama Pohon Kohler. Siasat konsentrasi stelsel dengan sistem bertahan dalam benteng besar oleh Belanda tidak berhasil dalam perang itu. Belanda semakin terdesak, korban semakin besar, dan keuangan terus terkuras. Perlawanan terhadap Penjajahan Pemerintah Hindia Belanda Snouck Hurgroje Pemerintah Hindia Belanda sama sekali kewalahan dan tidak mampu menghadapi secara fisik perlawanan rakyat Aceh. Menyadari hal tersebut, Belanda mengutus Dr. Snouck Hurgroje yang memakai nama samaran Abdul Gafar (seorang ahli bahasa, sejarah ,dan sosial Islam) untuk mencari kelemahan rakyat Aceh. Setelah lama belajar di Arab, Snouck Hugronje memberikan saran-saran kepada Belanda mengenai cara mengalahkan orang Aceh. Menurut Hurgronje, Aceh tidak mungkin dilawan dengan kekerasan, sebab karakter orang Aceh adalah pantang menyerah, jiwa jihad orang Aceh sangat tinggi. Taktik yang paling mujarab adalah dengan mengadu domba antara golongan Uleebalang (bangsawan) dengan ulama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menjanjikan kedudukan pada Uleebalang yang bersedia damai. Taktik ini berhasil, banyak Uleebalang yang tertarik pada tawaran Belanda. Belanda memberikan tawaran kedudukan kepada para Uleebalang apabila kaum ulama dapat dikalahkan. Sejak tahun 1898 kedudukan Aceh semakin terdesak. Belanda mengumumkan perang Aceh selesai tahun 1904. Namun demikian perlawanan rakyat Aceh secara sporadis masih berlangsung hingga tahun 1930-an. 5) Perlawanan Sisingamangaraja di Sumatra Utara Perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda di Sumatra Utara dipimpin oleh Sisingamangaraja XII, Perlawanan di Sumatra Utara berlangsung cukup lama, yaitu selama 24 tahun. Pertempuran diawali dari Bahal Batu sebagai pusat pertahanan Belanda tahun 1877. Untuk menghadapi Perang Batak (sebutan perang di Sumatra Utara), Pemerintah Hindia Belanda menarik pasukan dari Aceh. Pasukan Sisingamangaraja dapat dikalahkan setelah Kapten Christoffel berhasil mengepung benteng terakhir Sisingamangaraja di Pakpak. Kedua putra beliau Patuan Nagari dan Patuan Anggi ikut gugur dalam pertempuran tersebut, sehingga seluruh Tapanuli dapat dikuasai Belanda. 6) Perang Banjar Perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda Pangeran Antasari Perang Banjar berawal ketika Pemerintah Hindia Belanda ikut campur tangan dalam urusan pergantian raja di Kerajaan Banjarmasin. Belanda memberi dukungan kepada Pangeran Tamjid Ullah yang tidak disukai oleh rakyat. Pangeran Antasari dengan kekuatan 300 prajurit menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron pada tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan dilakukan oleh Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu dengan dibantu para panglima dan prajuritnya yang setia. Pemberontakan dilakukan oleh Prabu Anom dan Pangeran Hidayat. Pada tahun 1859, Pangeran Antasari memimpin perlawanan setelah Prabu Anom tertangkap Belanda, dengan bantuan pasukan dari Belanda, pasukan Pangeran Antasari dapat didesak. Tahun 1862 Pangeran Hidayat menyerah dan berakhirlah perlawanan rakyat Banjar di pulau Kalilmantan. Perlawanan baru benar-benar dapat dipadamkan pada tahun 1866. 7) Perang Jagaraga di Bali Perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda Perang Jagaraga berawal saat Pemerintah Hindia Belanda dan kerajaan di Bali bersengketa tentang hak tawan karang. Hak tawan karang berisi peraturan bahwa setiap kapal yang kandas di perairan Bali merupakan hak penguasa di daerah tersebut. Pemerintah Belanda memprotes Raja Buleleng yang menyita dua kapal milik Belanda. Raja Buleleng tidak mau menerima tuntutan Belanda untuk mengembalikan kedua kapalnya, persengketaan ini menyebabkan Belanda melakukan serangan terhadap kerajaan Buleleng tahun 1846. Belanda berhasil menguasai kerajaan Buleleng, sementara Raja Buleleng menyingkir ke Jagaraga dengan dibantu oleh Kerajaan Karangasem. Setelah berhasil merebut Benteng Jagaraga, Pemerintah Hindia Belanda melanjutkan ekspedisi militernya pada tahun 1849. Dua kerajaan Bali, Gianyar dan Klungkung menjadi sasaran Belanda. Tahun 1906, seluruh kerajaan di Bali jatuh ke pihak Pemerintah Hindia Belanda setelah rakyat melakukan perang habis-habisan sampai mati, yang dikenal dengan Perang Puputan. 8) Perang Tondano di Sulawesi Utara Perang Tondano terjadi pada masa penjajahan HIndia Belanda, baik pada masa VOC maupun pada masa Pemerintah Hindia Belanda. Bangsa Spanyol sudah sampai di tanah Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara sebelum kedatangan bangsa Belanda. Hubungan dagang orang Minahasa dengan Spanyol terus berkembang. Tetapi mulai abad XVII hubungan dagang antara mereka mulai terganggu dengan kehadiran para pedagang dari Belanda. Waktu itu VOC berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate. VOC berusaha memaksakan kehendak mereka mereka agar orang-orang Minahasa menjual hasil berasnya kepada VOC. Orang-orang Minahasa menentang usaha monopoli dari VOC tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi VOC, mereka memilih upaya memerangi orang-orang Minahasa. Untuk melemahkan orang-orang Minahasa, VOC kemudian membendung Sungai Temberan. Akibatnya aliran sungai tersebut meluap dan menggenangi tempat tinggal rakyat dan para pejuang Minahasa. Orang-orang Minahasa kemudian pindah ke Danau Tondano dengan rumah-rumah apung. Perang Tondano terjadi lagi pada abad ke-19. Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels. Pada kebijakan itu, Minahasa dijatah untuk mengumpulkan calon pasukan sejumlah 2000 orang yang akan dikirim ke Jawa. Orang-orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan program Belanda untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial. Banyak di antara para ukung mulai meninggalkan rumah. Mereka justru mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Gubernur Prediger mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang-orang Minahasa di Tondano-Minawanua. Belanda menerapkan strategi dengan membendung Sungai Temberan lagi. Prediger juga membentuk dua pasukan tangguh. Pasukan pertama dipersiapkan untuk menyerang dari Danau Tondano dan pasukan yang lain menyerang Minawanua dari darat. Tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran mulai berlangsung dengan sengit. Pasukan Hindia Belanda yang berpusat di Danau Tondano berhasil melakukan serangan dan merusak pagar bamu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan Minawanua, sehingga menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di Minawanua. Karena waktu sudah malam maka para pejuang dengan semangat yang tinggi terus bertahan dan melakukan perlawanan dari rumah ke rumah. Pasukan Belanda merasa kewalahan. Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 1808 pasukan Belanda dari darat membombardir kampung pertahanan Minawanua. Serangan terus dilakukan Belanda sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi kehidupan. Pasukan Prediger mulai mengendorkan serangannya. Tiba-tiba dari arah perkampungan itu orang-orang Tondano muncul dan menyerang dengan hebatnya sehingga korbanpun berjatuhan dari pihak Belanda. Pasukan Pemerintah Hindia Belanda kewalahan dan terpaksa ditarik mundur. Seiring dengan itu Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga mempersulit pasukan Belanda sendiri. Dari jarak jauh Belanda terus menghujani meriam ke Kampung Minawanua, tetapi tentu tidak efektif. Begitu juga serangan yang dari danau tidak mampu mematahkan semangat juang orang-orang Tondano-Minawanua. Bahkan terpetikik berita kapal yang paling besar yang di danau tenggelam. Perang Tondano II ini berlangsung cukup lama, sampai bulan Agustus 1809. Dalam suasana kepenatan dan kekurangan makanan mulai ada kelompok dari pejuang yang mulai memihak kepada Hindia Belanda. Namun dengan kekuatan dan semangat yang ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan atas gempuran pasukan Belanda yang terus menerus. Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha mempertahankan. Para pejuang itu memilih mati dari pada menyerah. Mayat-mayat mereka telah lenyap di dasar danau bersama lenyapnya kemerdekaan dan kedaulatan tanah Minahasa. Strategi Belanda Menghadapi Perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda Para pahlawan kita telah menunjukkan kegigihannya yang luar biasa melawan penjajahan pemerintah Hindia Belanda. Namun, sampai akhir abad XIX, Belanda belum juga berhasil diusir dari bumi Indonesia. Apakah kalian menemukan hubungan lokasi Indonesia dengan kesulitan mengusir penjajah? Pada bagian sebelumnya kalian telah mempelajari keunggulan lokasi Indonesia yang terdiri atas iklim, geostrategis, dan kondisi tanah. Ketiga hal tersebut berdampak langsung pada kegiatan ekonomi, transportasi, dan komunikasi. Kondisi Indonesia yang berpulau-pulau menyulitkan transportasi dan komunikasi masyarakat pada masa lalu. Akibatnya rakyat Indonesia melakukan perlawanan hanya terbatas di daerahnya masing-masing. Hal ini dimanfaatkan Pemerintah Hindia Belanda untuk melakukan strategi memecah belah bangsa Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda juga menggunakan strategi mengasingkan para pimpinan perlawanan. Sebagai contoh Pangeran Diponegoro diasingkan di Sulawesi, Cut Nya Dien di Jawa Barat, Tuanku Iman Bonjol juga diasingkan ke Ambon. Strategi tersebut merupakan upaya Belanda memutus komunikasi pemimpin dengan rakyatnya. Terbatasnya komunikasi dan transportasi pada masa lalu, menyebabkan terputusnya hubungan para pemimpin dengan pengikut. Para pemimpin tentu akan kesulitan untuk memimpin perlawanan dengan surat-menyurat bukan?

Sumber: http://ipsgampang.blogspot.co.id/2014/08/perlawanan-terhadap-pemerintah-hindia.html

1 komentar: