Selasa, 17 November 2015

Organisasi Perempuan masa awal pergerakan

Politik etis yang dijalankan oleh Belanda telah memungkinkan masuknya ide-ide Barat ke Indonesia yang dapat membawa pembaharuan-pembaharuan dalam berbagai bidang kehidupan. Disamping itu faktor luar negeri seperti kemenangan Jepang dalam perang melawan Rusia pada tahun pertama abad ke-20. Kemenangan ini dianggap sebagai kemenangan orang asia (kulit berwarna) terhadap orang Eropa (kulit putih). Karena pengaruh dari gagasan ini yang akhirnya membuat kaum elite nasional menyadari bahwa perjuangan untuk memajukan bangsa Indonesia harus dilakukan dengan melalui sebuah organisasi. Dengan demikian , golongan pemuda-pemuda, khususnya kaum terpelajar, mulai bergerak dengan mengorganisasikan diri.
            Organisasi yang menjadi titik tolak adanya pergerakan nasional adalah Organisasi Budi Utomo yang terdiri dari kau terpelajar dari STOVIA. Selain itu juga terdapat pergerakan nasional lain yang bersifat kebangsaan, Keagamaan, kepemudaan, surat kabar dan bahkan yang bersifat kewanitaan. Dengan adanya pergerakan nasional yang bersifat kewanitaan ini, menandakan bahwa kaum wanita pun memiliki andil dalam perjuangan nasional.
Timbulnya pergerakan wanita merupakan realisasi dari cita-cita Kartini yang memperjuangkan perbaikan kedudukan sosial kaum wanita. Pada awal pergerakan wanita, soal-soal politik belum menjadi perhatiannya, sedangkan yang mendesak untuk dipecahkan bagi mereka adalah perbaikan dalam hidup keluarga, perkawinan, dan mempertinggi kecakapan sebagai seorang wanita (Suhartono, 2004:102). Dalam perjuangannya, Kartini hanya memperjuangkan derajat wanita agar sejajar dengan laki-laki. Ini dikarenakan pada saat itu wanita hanya berperan sebagai ibu rumah tangga dan tidak boleh mengenyam pendidikan seperti hal nya laki-laki.
Perjuangan Kartini dengan membuka sekolah perempuan akhirnya mengilhami munculnya organisasi-organisasi wanita yang hendak meneruskan perjuangan Kartini. Salah satunya adalah organisasi Putri Merdika yang didirikan oleh Dewi Sartika. 
Sejarah pergerakan perempuan Indonesia merupakan suatu gerakan yang mempunyai proses panjang dan tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan terbentuk karena adanya peristiwa-peristiwa masa lalu dalam masyarakat seperti ada perasaan cemas dan keinginan individu yang menginginkan perubahan yang kemudian menyatakan dalam suatu tindakan bersama. Di Indonesia proses itu sudah  terlihat sejak abad ke-19 dalam bentuk perlawanan. Perlawanan ini terjadi di berbagai  wilayah yang   dipimpin   oleh   para  raja  atau  tokoh-tokoh  adat, misalnya di Banten, Yogyakarta, Rembang, Maluku, Palembang, Aceh dan wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Gerakan yang terjadi merupakan suatu tindakan protes kepada keadaan, khususnya protes kepada semakin berkuasanya bangsa asing (Belanda), yang bermakna bahwa kebudayaan Barat semakin berkembang terutama dalam bidang ekonomi dan politik. Perlawanan yang dilakukan oleh elit tradisional (raja dan tokoh masyarakat) terhadap kekuasaan Belanda selalu berakhir dengan tersingkirnya mereka, hal ini disebabkan tidak seimbangnya dalam kemajuan teknologi persenjataan dan teknologi komunikasi. Sementara elit tradisional yang masih dapat bertahan ialah mereka yang bersedia tunduk kepada pihak berkuasa masa itu dan menjalankan peraturan-peraturan yang telah ada.
Manakala penguasa asing (Belanda) menduduki beberapa kota penting di Indonesia, terjadi perubahan dalam bidang pemerintahan. Perubahan yang terjadi adalah pergantian hirarki kekuasaan dan kepemimpinan yang dilakukan oleh penguasa asing dengan birokrasi secara Barat. Selain itu terjadi perubahan dalam bidang hukum dan ekonomi seperti dalam hak tanah, pemberian gaji buruh dan pembayaran sewa. Peraturan-peraturan yang dibuat oleh penguasa asing selalunya tidak dapat diterima oleh rakyat, karena peraturan yang dibuat dianggap bertentangan dengan nilai-nilai tradisional bahkan merupakan pelanggaran kepada keadilan, sehingga menimbulkan rasa cemas. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya gerakan sosial sebagai penyaluran protes sosial bagi bangsa Indonesia.(Kartodirjo, 1971:41)
Pihak Belanda merasa mempunyai kewajiban untuk memperbaiki kesejahteraan penduduk pribumi dengan memberikan pendidikan. Walau bagaimanapun pendidikan yang dimunculkan hanya diberikan kepada anak-anak golongan bangsawan karena mereka dianggap mempunyai bakat untuk melakukan pekerjaan sebagai kerani. Anak-anak dari golongan petani atau pedagang kecil tidak dapat mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah.(Nagazumi, 1972:72)
Mendapatkan pendidikan bagi wanita memberikan dampak yang positif, karena mereka akan menjadi peka terhadap masalah yang dihadapinya. Sehingga memberikan kesadaran bahwa untuk mengumpulkan pemikiran-pemikiran wanita juga diperlukan suatu wadah untuk menampungnya. Selain itu juga diperlukan suatu kerja sama yang lebih luas lagi. Sehingga diperlukan organisasi sendiri bagi wanita.  Organisasi wanita yang muncul berdiri sebelum kemerdekaan memilki tujuan beragam yang ingin dicapai. Organisasi perempuan yang berkembang sebelum tahun 1928 lebih menitikberatkan kepada kedudukan sosial dalam perkawinan dan keluarga, serta meningkatkan kecakapannya sebagai ibu rumah tangga dengan jalan meningkatkan pendidikan serta pengajaran yang disertai degan keterampilan(Kowani dalam Yuliati, 2010). Dengan demikian organisasi yang berdiri sebelum tahun 1928 masih berkutat pada masalah domestik yang dihadapi oleh perempuan.

            Setelah tahun 1920 organisasi wanita makin luas orientasinya terutama dalam menjangkau masyarakat bawah dan tujuan politik yang dilakukan bersama-sama organisasi sosial politik pada umumnya. Jumlah organisasi wanita makin bertambah banyak. Setiap organisasi politik mempunyai bagian wanita. Misalnya Wanudyo Utomo merupakan bagian dari Sarekat Islam, kemudian berganti nama menjadi Sarekat Perempuan Indonesia.
Organisasi-organisasi wanita yang berdiri pada masa pergerakan nasional antara lain:
1)      Putri Mardika (1912)
Putri Mardika adalah organisasi keputrian tertua dan merupakan bagian dari Budi Utomo. Tujuannya adalah untuk memberikan bantuan, bimbingan dan penerangan kepada wanita-wanita pribumi dalam menuntut pelajaran dan dalam menyatakan pendapat di muka umum. Kegiatannya antara lain sebagai berikut: memberikan beasiswa dan menerbitkan majalah bulanan. Tokoh-tokohnya: P.A Sabarudin,R.A Sutinah Joyopranoto, R.R Rukmini, dan Sadikun Tondokukumo.
2)      Kartini Fonds (Dana Kartini)
Organisasi ini didirikan oleh Tuan dan Nyonya C. Th. Van Deventer, tokoh politik etis. Salah satu usahanya adalah mendirikan sekolah-sekolah, misalnya: Sekolah Kartini di Jakarta, Bogor, Semarang (1913), setelah itu di Madiun (1914), Malang dan Cirebon (1916), Pekalongan (1917), Subabaya dan Rembang.
3)      Kautamaan Istri
Organisasi ini berdiri sejak tahun 1904 di Bandung, yang didirikan oleh R. Dewi Sartika. Pada tahun 1910 didirikan Sekolah Keutamaan Istri, dengan tujuan mengajar anak gadis agar mampu membaca, menulis, berhitung, punya keterampilan kerumahtanggaan agar kelak dapat menjadi ibu rumah tangga yang baik. Kegiatan ini kemudian mulai diikuti oleh kaum wanita di kota-kota lainnya, yaitu Tasikmalaya, Garut, Purwakarta, dan Padang Panjang.
4)      Kerajinan Amal Setia (KAS)
KAS didirikan di Kota Gadang Sumatra Barat oleh Rohana Kudus tahun 1914. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pendidikan wanita, dengan mengajarkan cara-cara mengatur rumah tangga, membuat barang-barang kerajinan tangan beserta cara pemasarannya. Pada tahun itu juga, KAS berhasil mendirikan sekolah wanita pertama di Sumatera sebelum terbentuknya Diniyah Putri di Padangpanjang.
5)      Aisyiah (1917)
Aisyiah didirikan pada 22 April 1917 dan merupakan bagian dari Muhammadiyah. Pendirinya adalah H. Siti Walidah Ahmad Dahlan. Kegiatan utamanya adalah memajukan pendidikan dan keagamaan bagi kaum wanita, memelihara anak yatim, dan menanamkan rasa kebangsaan lewat kegiatan organisasi agar kaum wanita dapat mengambil peranan aktif dalam pergerakan nasional.
6)      Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya (PIKAT)
PIKAT didirikan pada bulan Juli 1917 oleh Maria Walanda Maramis di Menado, Sulawesi Utara. Tujuannya: memajukan pendidikan kaum wanita dengan cara mendirikan sekolah-sekolah rumah tangga (1918) sebagai calon pendidik anak-anak perempuan yang telah tamat Sekolah Rakyat. Di dalamnya diajari cara-cara mengatur rumah tangga yang baik, keterampilan, dan menanamkan rasa kebangsaan.
7)      Organisasi Kewanitaan Lain
Organisasi Kewanitaan lain yang berdiri cukup banyak, antara lain: Pawiyatan Wanita di Magelang (1915), Wanita Susila di Pemalang (1918), Wanita Rukun Santoso di Malang, Budi Wanita di Solo, Putri Budi Sejati di Surabaya (1919), Wanita Mulya di Yogyakarta (1920), Wanita Katolik di Yogyakarta (1921), PMDS Putri (1923), Wanita Taman Siswa (1922), dan Putri Indonesia (1927).
8)      Kongres Perempuan Indonesia
Pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesia pertama. Kongres tersebut diprakarsai oleh berbagai organisasi wanita seperti: Wanita Utomo, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Wanita Mulya, Aisyiah, SI, JIB, dan Taman Siswa bagian wanita. Tujuan kongres adalah mempersatukan cita-cita dan usaha untuk memajukan wanita Indonesia, dan juga mengadakan gabungan antara berbagai perkumpulan wanita yang ada. Dalam kongres itu diambil keputusan untuk mendirikan gabungan perkumpulam wanita yang disebut Perikatan Perempuan Indonesia (PPI) dengan tujuan:
a.       memberi penerangan dann perantaraan kepada kaum perempuan, akan mendirikan studie fond untuk anak-anak perempuan yang tidak mampu,
b.      mengadakan kursus-kursus kesehatan,
c.       menentang perkawinan anak-anak,
memajukan kepanduan untuk organisasi-organisasi wanita tersebut di atas, pada umumnya tidak mencampuri urusan politik dan berjuang dengan haluan kooperatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar