Politik etis yang
dijalankan oleh Belanda telah memungkinkan masuknya ide-ide Barat ke Indonesia
yang dapat membawa pembaharuan-pembaharuan dalam berbagai bidang kehidupan.
Disamping itu faktor luar negeri seperti kemenangan Jepang dalam perang melawan
Rusia pada tahun pertama abad ke-20. Kemenangan ini dianggap sebagai kemenangan
orang asia (kulit berwarna) terhadap orang Eropa (kulit putih). Karena pengaruh
dari gagasan ini yang akhirnya membuat kaum elite nasional menyadari bahwa
perjuangan untuk memajukan bangsa Indonesia harus dilakukan dengan melalui
sebuah organisasi. Dengan demikian , golongan pemuda-pemuda, khususnya kaum
terpelajar, mulai bergerak dengan mengorganisasikan diri.
Organisasi
yang menjadi titik tolak adanya pergerakan nasional adalah Organisasi Budi
Utomo yang terdiri dari kau terpelajar dari STOVIA. Selain itu juga terdapat
pergerakan nasional lain yang bersifat kebangsaan, Keagamaan, kepemudaan, surat
kabar dan bahkan yang bersifat kewanitaan. Dengan adanya pergerakan nasional
yang bersifat kewanitaan ini, menandakan bahwa kaum wanita pun memiliki andil
dalam perjuangan nasional.
Timbulnya pergerakan
wanita merupakan realisasi dari cita-cita Kartini yang memperjuangkan perbaikan
kedudukan sosial kaum wanita. Pada awal pergerakan wanita, soal-soal politik
belum menjadi perhatiannya, sedangkan yang mendesak untuk dipecahkan bagi
mereka adalah perbaikan dalam hidup keluarga, perkawinan, dan mempertinggi
kecakapan sebagai seorang wanita (Suhartono, 2004:102). Dalam perjuangannya,
Kartini hanya memperjuangkan derajat wanita agar sejajar dengan laki-laki. Ini
dikarenakan pada saat itu wanita hanya berperan sebagai ibu rumah tangga dan
tidak boleh mengenyam pendidikan seperti hal nya laki-laki.
Perjuangan Kartini
dengan membuka sekolah perempuan akhirnya mengilhami munculnya
organisasi-organisasi wanita yang hendak meneruskan perjuangan Kartini. Salah
satunya adalah organisasi Putri Merdika yang didirikan oleh Dewi Sartika.
Sejarah pergerakan perempuan Indonesia merupakan suatu
gerakan yang mempunyai proses panjang dan tidak muncul secara tiba-tiba,
melainkan terbentuk karena adanya peristiwa-peristiwa masa lalu dalam
masyarakat seperti ada perasaan cemas dan keinginan individu yang menginginkan
perubahan yang kemudian menyatakan dalam suatu tindakan bersama. Di Indonesia
proses itu sudah terlihat sejak abad ke-19 dalam bentuk perlawanan. Perlawanan
ini terjadi di berbagai wilayah yang dipimpin
oleh para raja atau tokoh-tokoh
adat, misalnya di Banten, Yogyakarta, Rembang, Maluku, Palembang,
Aceh dan wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Gerakan yang terjadi merupakan suatu tindakan protes kepada
keadaan, khususnya protes kepada semakin berkuasanya bangsa asing (Belanda),
yang bermakna bahwa kebudayaan Barat semakin berkembang terutama dalam bidang
ekonomi dan politik. Perlawanan yang dilakukan oleh elit tradisional (raja dan
tokoh masyarakat) terhadap kekuasaan Belanda selalu berakhir dengan
tersingkirnya mereka, hal ini disebabkan tidak seimbangnya dalam kemajuan
teknologi persenjataan dan teknologi komunikasi. Sementara elit tradisional
yang masih dapat bertahan ialah mereka yang bersedia tunduk kepada pihak
berkuasa masa itu dan menjalankan peraturan-peraturan yang telah ada.
Manakala penguasa asing (Belanda) menduduki beberapa kota
penting di Indonesia, terjadi perubahan dalam bidang pemerintahan. Perubahan
yang terjadi adalah pergantian hirarki kekuasaan dan kepemimpinan yang
dilakukan oleh penguasa asing dengan birokrasi secara Barat. Selain itu terjadi
perubahan dalam bidang hukum dan ekonomi seperti dalam hak tanah, pemberian
gaji buruh dan pembayaran sewa. Peraturan-peraturan yang dibuat oleh penguasa
asing selalunya tidak dapat diterima oleh rakyat, karena peraturan yang dibuat
dianggap bertentangan dengan nilai-nilai tradisional bahkan merupakan
pelanggaran kepada keadilan, sehingga menimbulkan rasa cemas. Hal inilah yang
menyebabkan timbulnya gerakan sosial sebagai penyaluran protes sosial bagi
bangsa Indonesia.(Kartodirjo, 1971:41)
Pihak Belanda merasa
mempunyai kewajiban untuk memperbaiki kesejahteraan penduduk pribumi dengan
memberikan pendidikan. Walau bagaimanapun pendidikan yang dimunculkan hanya
diberikan kepada anak-anak golongan bangsawan karena mereka dianggap mempunyai
bakat untuk melakukan pekerjaan sebagai kerani. Anak-anak dari golongan petani
atau pedagang kecil tidak dapat mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah.(Nagazumi,
1972:72)
Mendapatkan pendidikan
bagi wanita memberikan dampak yang positif, karena mereka akan menjadi peka
terhadap masalah yang dihadapinya. Sehingga memberikan kesadaran bahwa untuk
mengumpulkan pemikiran-pemikiran wanita juga diperlukan suatu wadah untuk
menampungnya. Selain itu juga diperlukan suatu kerja sama yang lebih luas lagi.
Sehingga diperlukan organisasi sendiri bagi wanita. Organisasi wanita yang muncul berdiri sebelum
kemerdekaan memilki tujuan beragam yang ingin dicapai. Organisasi perempuan
yang berkembang sebelum tahun 1928 lebih menitikberatkan kepada kedudukan
sosial dalam perkawinan dan keluarga, serta meningkatkan kecakapannya sebagai
ibu rumah tangga dengan jalan meningkatkan pendidikan serta pengajaran yang
disertai degan keterampilan(Kowani dalam Yuliati, 2010). Dengan demikian
organisasi yang berdiri sebelum tahun 1928 masih berkutat pada masalah domestik
yang dihadapi oleh perempuan.
Setelah
tahun 1920 organisasi wanita makin luas orientasinya terutama dalam menjangkau
masyarakat bawah dan tujuan politik yang dilakukan bersama-sama organisasi
sosial politik pada umumnya. Jumlah organisasi wanita makin bertambah banyak.
Setiap organisasi politik mempunyai bagian wanita. Misalnya Wanudyo Utomo
merupakan bagian dari Sarekat Islam, kemudian berganti nama menjadi Sarekat
Perempuan Indonesia.
Organisasi-organisasi wanita yang berdiri pada masa pergerakan nasional
antara lain:
1)
Putri Mardika
(1912)
Putri Mardika adalah organisasi keputrian tertua dan merupakan bagian dari
Budi Utomo. Tujuannya adalah untuk memberikan bantuan, bimbingan dan penerangan
kepada wanita-wanita pribumi dalam menuntut pelajaran dan dalam menyatakan
pendapat di muka umum. Kegiatannya antara lain sebagai berikut: memberikan
beasiswa dan menerbitkan majalah bulanan. Tokoh-tokohnya: P.A Sabarudin,R.A Sutinah Joyopranoto, R.R Rukmini, dan Sadikun
Tondokukumo.
2)
Kartini Fonds
(Dana Kartini)
Organisasi ini didirikan oleh Tuan dan Nyonya C. Th. Van Deventer, tokoh politik etis. Salah satu usahanya
adalah mendirikan sekolah-sekolah, misalnya: Sekolah Kartini di Jakarta, Bogor,
Semarang (1913), setelah itu di Madiun (1914), Malang dan Cirebon (1916),
Pekalongan (1917), Subabaya dan Rembang.
3)
Kautamaan
Istri
Organisasi ini berdiri sejak tahun 1904 di Bandung, yang didirikan
oleh R. Dewi Sartika. Pada
tahun 1910 didirikan Sekolah Keutamaan Istri, dengan tujuan mengajar anak gadis
agar mampu membaca, menulis, berhitung, punya keterampilan kerumahtanggaan agar
kelak dapat menjadi ibu rumah tangga yang baik. Kegiatan ini kemudian mulai
diikuti oleh kaum wanita di kota-kota lainnya, yaitu Tasikmalaya, Garut,
Purwakarta, dan Padang Panjang.
4)
Kerajinan
Amal Setia (KAS)
KAS didirikan di Kota Gadang Sumatra Barat oleh Rohana Kudus tahun 1914. Tujuannya adalah untuk
meningkatkan pendidikan wanita, dengan mengajarkan cara-cara mengatur rumah
tangga, membuat barang-barang kerajinan tangan beserta cara pemasarannya. Pada
tahun itu juga, KAS berhasil mendirikan sekolah wanita pertama di Sumatera
sebelum terbentuknya Diniyah Putri di Padangpanjang.
5)
Aisyiah
(1917)
Aisyiah didirikan pada 22 April 1917 dan merupakan bagian dari
Muhammadiyah. Pendirinya adalah H. Siti Walidah Ahmad Dahlan. Kegiatan utamanya
adalah memajukan pendidikan dan keagamaan bagi kaum wanita, memelihara anak
yatim, dan menanamkan rasa kebangsaan lewat kegiatan organisasi agar kaum
wanita dapat mengambil peranan aktif dalam pergerakan nasional.
6)
Percintaan
Ibu Kepada Anak Turunannya (PIKAT)
PIKAT didirikan pada bulan Juli 1917 oleh Maria Walanda Maramis di Menado, Sulawesi Utara. Tujuannya:
memajukan pendidikan kaum wanita dengan cara mendirikan sekolah-sekolah rumah
tangga (1918) sebagai calon pendidik anak-anak perempuan yang telah tamat
Sekolah Rakyat. Di dalamnya diajari cara-cara mengatur rumah tangga yang baik,
keterampilan, dan menanamkan rasa kebangsaan.
7)
Organisasi
Kewanitaan Lain
Organisasi Kewanitaan lain yang berdiri cukup banyak, antara lain:
Pawiyatan Wanita di Magelang (1915), Wanita Susila di Pemalang (1918), Wanita
Rukun Santoso di Malang, Budi Wanita di Solo, Putri Budi Sejati di Surabaya
(1919), Wanita Mulya di Yogyakarta (1920), Wanita Katolik di Yogyakarta (1921),
PMDS Putri (1923), Wanita Taman Siswa (1922), dan Putri Indonesia (1927).
8)
Kongres
Perempuan Indonesia
Pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, diselenggarakan Kongres Perempuan
Indonesia pertama. Kongres tersebut diprakarsai oleh berbagai organisasi wanita
seperti: Wanita Utomo, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Wanita Mulya, Aisyiah,
SI, JIB, dan Taman Siswa bagian wanita. Tujuan kongres adalah mempersatukan
cita-cita dan usaha untuk memajukan wanita Indonesia, dan juga mengadakan
gabungan antara berbagai perkumpulan wanita yang ada. Dalam kongres itu diambil
keputusan untuk mendirikan gabungan perkumpulam wanita yang disebut Perikatan
Perempuan Indonesia (PPI) dengan tujuan:
a.
memberi penerangan dann perantaraan
kepada kaum perempuan, akan mendirikan studie fond untuk anak-anak perempuan yang tidak mampu,
b.
mengadakan kursus-kursus kesehatan,
c.
menentang perkawinan anak-anak,
memajukan kepanduan untuk
organisasi-organisasi wanita tersebut di atas, pada umumnya tidak mencampuri
urusan politik dan berjuang dengan haluan kooperatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar